KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
Segala puji
bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya
dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini
disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Kerajaan islam di
Indonesia”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan, Walaupun makalah ini kurang sempurna dan memerlukan perbaikan
tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Semoga makalah
ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik dan
saran dari pembaca yang membangun.
Banda
Aceh, November 2016
Penyusun
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
A. Latar Belakang Munculnya Dan
Berkembangnya Kerajaan Aceh Darussalam
Pada akhir abad ke-12 M, emporium Sriwijaya mengalami kemerosotan yang
mengakibatkan kekuasaannya berpencar, ada yang berpusat di Piddie dan Samudra
Pasai. Abad berikutnya muncul pusat-pusat kekuasaanbaru sepanjang pantai timur
Sumatra seperti kerajaan Aceh, Lamuri, Arkat, Rupat, Siak, Kampar Tongkal dan
Indragiri. Pelabuhan-pelabuhan dan kerajaan-kerajaan itu saling berkompetisi.
Akhirnya factor ekonomi dan politik yang menentukan. Pada abad ke-14dan 15 M,
Malaka menjadi kota pelabuhan terpenting di Asia tenggara. Letak kota pelabuhan
Malaka memang sangat menguntungkan bagi lalu lintas dagang. Namun, sejak Malaka
direbut Portugis pada tahun 1511 M, Kerajaan Samudra Pasai menjadi kaya dan
makmur dengan banyak pedagang. Berdasarkan pernyataan Tome Pires dalam Lombard
(2006: 60-61) disamping Pasai dan Piddie juga menyebut adanya kekuatan muda
yaitu “O Regno Dachei”.
Pada tahun 1511 M, Kerajaan Samudra Pasai ditaklukkan oleh Portugis[1] yang telah
mendudukinya selama tiga tahun. Akhirnya kerajaan Samudra Pasai runtuh ketika
dianeksasi oleh raja pertama Aceh, sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1524 M.
Mulai saat itu, Kerajaan Samudra Pasai berada dibawah kesultanan Aceh yang
berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Sebenarnya kerajaan Aceh merupakan lanjutan
dari kerajaan Samudra Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan
kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya. Kerajaan Aceh pada dasarnya
telah berdiri pada akhir abad ke-14 M, tetapi belum begitu muncul karena larut
dalam hegemoni Malaka. Pada awal abad ke-18 M, untuk beberapa waktu lamanya,
Aceh muncul sebagai Negara yang paling kuat, makmur dan beradap.
Kerajaan Aceh terletak didaerah yang sekarang dikenal dengan kabupaten Aceh
Besar. Menurut Pires, Achey adalah negeri pertama yang menghadap selat dan
Lambry terletak tepat di sebelahnya dan meluas kepedalaman.
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada
yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati
sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi
perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang
rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara
Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang
mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para
saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk
menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi
mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh.
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah
atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir
pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai
daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai
melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha
melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524,
Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan
Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de
Souza Galvao di Bandar Aceh.
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim
bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun
rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada
Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka
dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak
kapal membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal
tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun
melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis.
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau
Sultan Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis
di Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada
di sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan
Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan
Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun
oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim
terhadap saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan
Alauddin Syah.
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari
Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil.
Ia mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan
berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September
1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu
dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut
Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan
1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579.
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga
berusaha mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan,
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur
Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia
mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki
dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan
sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan
sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang
dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung
adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali
Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat Bustan
as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai para
ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar negeri
yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan
digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang
memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607.
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah
pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada
masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai
bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan
internasional, memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan
memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun
semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di
bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda.
Sultan berhasil membentuk Aceh
menjadi Negara yang paling kuat di Nusantara bagian barat dalam waktu singkat.
Keberhasilan-keberhasilannya didasarkan pada kekuatan militer yang kuat,
termasuk angkatan laut yang memiliki kapal-kapal besar yang mampu mengangkut
600-800 prajurit yang disebut “Espento Del Mundo”[2][19]., pasukan
kavaleri yang menggunakan kuda-kuda Persia,
pasukan Gajah, artileri banyak dan pasukan miliasi infantry dan juga meriam
besar terbuat dari perunggu[3][20].(Ricklefs,
2001: 84, 125-132). Sultan juga membangun ketatanegaraan dan perekonomian Aceh.
Dalam 5 tahun ia berhasil merebut negara di pantai timur Sumatera.Pada tahun
1612 , beliau berhasil merebut Deli ,Aru, Rohan, Siak, Kampar[4][21] pada tahun
1613. Pada tahun 1613 sultan Iskandar muda mengalahkan Johor, membawa sultan
Johor Alauddin Riayat Syah II bersama anggota keluarga dan sekelompok pedagang
VOC ke Aceh. Pada tahun 1614 giliran Bintan yang diserang Aceh. Sultan juga
menyerang Pahang tahun 1618, Kedah tahun 1619 Kedah yang merupakan saingan lada
dan, pulau Nias tahun 1624/25 Raja Indragiri dan Jambi dipaksa menjual lada
kepada pedagang Aceh. Selain itu, Iskandar Muda merusaka kebun lada di Pahang.
Sedangkan Pattani menyerah tanpa adanya penyerangan. Pada, pada 21 dan 22 juli
1621, sultan mengirimkan kapal-kapal perang ke Perlak dan Langkawi untuk
mencabut tanaman lada.Oleh karena itu, pasaran lada pindah ke Aceh yang dikuasai
oleh Iskandar Muda. Kemudian bandar Aceh ditingkatkan menjadi bandar
Internasional dan sultan memainkan monopoli atas lada.
Iskandar Muda
juga merusak kantor dagang Belanda dan tidak membiarkan portugis menetap di
puing-puing Batu Sawar. Akhirnya, ia berhasil menguasai daerah pesisir sebagian
besar Sumatera, dibarat sampai Mokomoko (Bengkulu) dan disebelah timur sampai
keselatan Sungai Indragiri. Semua kerajaan Kedah, Perak, Pahang, dan Trengganu
di semenanjug Malaysia menjadi sebagian dari kerajaan Aceh. Selain melakukan
ekspansi politik, Sultan Iskandar Muda menaruh perhatian besar pada agama. Hal
ini dibuktikan dengan pembangunan masjid besar Baitur-Rahman yang berdasar
perkataan Bustan dilakukan oleh Iskandar muda.
Selain itu,
sultan juga membangun taman-taman yang terbentang disebelah selatan istana,
gegunungan menara Permata dan beberapa masjid di daerah lain. Sultan
memerintahkan kepada rakyatnya untuk sembahyang lima waktu, puasa sunah, puasa
ramadhan serta menjauhi diri dari minum arak dan bermain judi. Aceh pada masa
sultan Iskandar Muda dijuluki sebagai serambi mekkah. Seperti yang dirumuskan
dalam hukum dana adat bahwa ulama dalam sejarah Aceh menjadi perumus realitas
dan pengesahan kekuasaan.
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus
meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang
berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun
1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah
tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya
Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun
1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah
satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia
pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada
sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan
sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam
peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan
Aceh.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah
melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama
dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi
Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin
al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul
Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan
Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang
diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma,
timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan
mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut
dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang
diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem
(resin), damar, getah perca, obat-obatan.
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan
lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian
Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan
yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini
menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang
menonjol di Asia Tenggara.
B. Kehidupan Ekonomi,Sosial,dan Politik
1. Kehidupan perekonomian
Dalam
kehidupan perekonomiannya, Basis perekonomian Aceh adalah perdagangan dan
pelayaran. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan internasional pertama. Aceh
bukanlah negara bercorak Agraris namun bagian utara Sumatra dikenal sebagai
daerah yang kaya akan hasil bumi baik tumbuh-tumbuhan maupun hasil tambang
Sebelum abad XVI M, (Lombard, 2006: 95).
Hasil-hasilnya adalah lada sebagai komoditas ekspor. Lada banyak diekspor ke
Cina dan pedagang barat dari Pasai, Pidir pada abad XVI. Sebenarnya lada bukan
asli tumbuhan dari Aceh[5][23]. Melainkan
diperkenalkan penanamannya oleh pedagang India pada abad XIV bersama dengan
ajaran islam. (Lombard, 2006: 59). Pusat-pusat penghasilan lada ada di selatan
pantai barat pulau Sumatera, Pasaman, Semenanjung Malayu (pulau Langkawi dan
Kedah). Pada masa pemerintahan sultan Alauddin, perdagangan lada Bandar Aceh
maju pesat. Karena itu, sultan semakin gencar dalam penanaman lada. Atas
kemajuan perdagangan lada tersebut, kesultanan Aceh menjadi sangat makmur. Aceh
mampu membeli kapal-kapal buatan luar negeri untuk memperkuat armada., membeli
senjata dan mesiu dari bangsa Belanda dan Inggris sehingga Aceh menjadi negeri
kuat, berani mengimbangi Malaka dan ditakuti oleh pihak Portugis.
Pada abad XV M, teks-teks Cina dan Tome Pires memasukan sutera dalam
penghasilan utama Sumatra. (Lombard, 2006: 60) sutera dihasilkan dalam
jumlah lumayan banyak di daerah sekitar
Aceh. Sutera dari Aceh kuning dan keras.
Sutera dari Aceh dapat dijadikan kain taf yang
cukup bagus. (Lombard, 2006: 101) selain lada dan sutera juga menghasilkan emas
merah 24 karat,Minyak tanah, kemenyan, belerang dan kamper. (Lombard, 2006:
96-99). Meskipun mempunyai banyak hasil bumi, Aceh masih mengimpor berbagai
barang yang diperlukan, disamping mengekspor komoditi penting yang laku keras
pada perdagangan dan menjadi barang incaran dari bangsa lain. Berikut ini,
komoditas ekspor dan impor dari Aceh.
2.
Kehidupan sosial
Adalanya
penggolongan masyarakat menjadi beberapa golongan, yaitu teuku (kaum
bangsawan), golongan teungku (Kaum ulama yang memegang), Hulubalang (prajurit) serta rakyat biasa.
Antara Golongan teuku dan Teungku sering timbul persaingan yang mengakibatkan
melemahnya kerajaan Aceh.
3.
Kehidupan politik
Aceh tumbuh secara cepat menjadi
kerajaan besar karena didukung oleh letaknya yang strategis, kemudian
Kerajaannya memiliki Bandar pelabuhan. Aceh juga memiliki daerah yang kaya akan
tanaman lada. Tanaman ini sendiri merupakan komoditi ekspor yang sangat
penting. Selain itu, jatuhnya malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang
Islam banyak singgah ke Aceh, ditambah Jalur pelayaran beralih melalui
sepanjang pantai barat Sumatera.
C.
Sebab Runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan
Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya ialah adanya
perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.kemudian juga konflik
internal yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin
perempuan. Para ulama berpandangan bahwa hukum islam tidak membolehkan
seorang perempuan menjadi pemimpin bagi
laki-laki.selain itu juga konlik dengan Belanda yang terjadi pada akhir abad
ke-18 yang memuncak pada abad ke-19.Makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau
Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak,
Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Pada tahun 1871 M,
Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut,
Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang
kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh. Pada saat itu, Belanda
sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck
Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada
pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya,
tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh
sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus
diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda
dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah
yang dibakar Belanda.
Saran Snouck
Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van
Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada
tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud
kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh
Belanda. Adanya Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi
kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di
Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka
di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk
menguasai Singapura.Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan
Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas
diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian
manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh
dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer
disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan
peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial
Hindia-Belanda.
Komentar
Posting Komentar